Rekamjabar.com – Tulisan ini merupakan refleksi dan sumbang pikir penulis dalam menyoroti permasalahan netralitas Aparatur Sipil Negara (selanjutnya ditulis ASN) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024. Penulis mencoba memberikan deskripsi dalam memahami kontekstualiasi netralitas ASN dalam Pilkada, sehingga diharapkan dapat menambah khazanah pemikiran sekaligus masukan pada semua pihak dalam menyikapi netralitas ASN secara objektif, jujur dan adil.
Pilkada dan Netralitas ASN
Pilkada merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota yang diselenggarakan setiap 5 (tahun) sekali. Khusus untuk Pilkada tahun 2024 diselenggarakan secara nasional serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia. Penyelenggara Pilkada menjadi kewenangan beberapa lembaga, yaitu KPU beserta jajajarannya sebagai penyelenggara teknis, Bawaslu beserta jajarannya sebagai lembaga pengawas, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai dewan etik bagi penyelenggara pemilu dan pilkada.
Berkaitan dengan ASN, UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 1 angka 1 dan 2, Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah PNS dan PPPK yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan diberikan penghasilan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam Penyelenggaraan kebijakan dan Manajeman ASN diatur dalam Pasal 2 UU ASN menyebut salah satu asasnya “Netralitas”. Dalam penjelasannya, yang dimaksud asas netralitas adalah bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Berkaitan dengan hak politik ASN, Pasal 56 UU ASN mengatur bahwa pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota, dan Wakil Bupati/Wakil Walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari pns sejak ditetapkan sebagai calon. Pasal 59 ayat (3) Pegawai ASN yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Ralgrat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota Dan Wakil Bupati/Wakil Walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai Pegawai ASN sejak ditetapkan sebagai calon. Berdasarkan ketentuan tersebut, ASN tetap daoat memiliki hak politik untuk dipilih dan baru mengundaurkan diri dari status PNS ketika ditetapkan sebagai (pasangan) calon oleh KPU sesuai dengan tingkatannya.
Selanjutnya, Pilkada secara normatif telah diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, beserta Perubahannya (yang selanjutnya ditulis UU Pilkada). Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada pada pokoknya menyatakan bahwa salat satu syarat Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala adalah harus menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan. Pasal tersebut dapat Penulis tafsirkan bahwa seorang PNS harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi/KPU Kab/Kota sesuai dengan tingkatannya. Artinya, ketika masih berstatus bakal pasangan calon, tidak ada keharusan mengundurkan diri dari PNS.
Selain itu, Pasal 70 ayat (1) huruf b dan huruf c UU Pilkada pun mengatur bahwa dalam kampanye, Pasangan Calon Kepala Daerah dilarang melibatkan ASN, kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan. Sedangkan Pasal 71 ayat (1) UU Pilkada menyatakan bahwa Pejabat ASN, Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Berdasarkan ketentuan tersebut, larangan sebagaimana disebutkan hanya berlaku pada masa kampanye. Pasal 1 angka 21 UU Pilkada disebutkan bahwa Kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan Calon. Dengan demikian, kampanye harus dipahami sebagai kegiatan yang terikat dengan ketentuan jadwal, waktu, metode dan tempat tertentu yang diatur dalam Peraturan KPU. Di samping itu, berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Pilkada bahwa Calon Kepala Daerah adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang mendaftar atau didaftarkan di KPU sesuai tingkatannya. Artinya, seseorang baru dapat dinyatakan sebagai Calon ketika yang bersangkutan mendaftar atau didaftarkan ke KPU pada jadwal yang telah ditentukan.
Pada tataran regulasi berikutnya, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya ditulis PP Disiplin PNS). Dalam Pasal 5 huruf n disebutkan bahwa PNS dilarang memberikan dukungan kepada Capres/Cawapres, Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Calon anggota DPR/DPD/DPRD dengan cara: ikut kampanye; menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; membuat dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye; mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; dan/atau memberikan surat dukungan disertai fotokopi KTP atau Surat Keterangan Tanda Penduduk.
Selanjutnya, netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pilkada diatur dalam Keputusan Bersama Menteri PAN-RB, Mendagri, Kepala BKN, Ketua Komisi ASN, dan Ketua Bawaslu, Nomor : 2 Tahun 2022, Nomor: 800-5474 Tahun 2022, Nomor : 246 Tahun 2022, Nomor : 30 Tahun 2022, Nomor : 1447.1/Pm.01/K.1/09/2022, tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Dan Pemilihan (yang selanjutnya ditulis SKB). Dalam SKB ini diatur beberapa butir klausul, mulai dari ruang lingkup pedoman pengawasan netralitas ASN, upaya dan langkah pencegahan pelanggaran netralitas, sanksi dan tingkatan pelanggaran netralitas ASN, pembentukan Satuan Petugas pengawasan netralitas ASN, hingga tata cara penanganan pelanggaran netralitas ASN. Pembuatan SKB tersebut merupakan bentuk komitmen untuk mencegah terjadinya pelanggaran netralitas ASN. Pada bagian lampiran SKB tersebut diatur secara jelas dan tegas antara lain upaya pembinaan dan pengawasan netralitas ASN, serta bentuk pelanggaran dan jenis sanksi atas pelanggaran netralitas ASN.
Dari sejumlah lampiran dalam SKB dan SE tersebut, penulis tertarik menyoroti secara khusus pada klausul lampiran II yang menyatakan bahwa ASN dapat dikenai sanksi disiplin sedang jika ASN melakukan pendekatan kepada: Partai politik sebagai Bakal Calon (Presiden/Wakil Presiden/DPR/DPD/DPRD/ Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Walikota); dan Masyarakat (bagi independent) sebagai bakal calon (DPD/DPRD/Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/ Wakil Walikota), dengan tidak dalam status Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN). Pada bagian ini menarik untuk dianalisis, karena ketentuan tersebut telah melahirkan perdebatan pro dan kontra di masyarakat. Pro Kontra tersebut lahir karena adanya perbedaan cara pandang dalam memahaminya. Dalam memberikan pendapat terkait hal tersebut, penulis sengaja menebalkan frase tertentu karena akan dikaji secara khusus dengan melakukan penafsiran secara gramatikal dan sistematis.
Frase “melakukan pendekatan” secara gramatikal dapat difahami bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat aktif, bukan kalimat pasif. Artinya, ASN dimaksud dengan sadar dan bergerak aktif melakukan pendekatan kepada Partai Politik untuk dapat menjadi bakal calon pada kontestasi Pilkada. Tentu berbeda maknanya, apabila ASN dimaksud dalam posisi diundang pada berbagai acara partai politik atau komunitas masyarakat tertentu. Sebab kehadirannya hanya untuk memenuhi undangan kegiatan yang diselenggarakan oleh partai politik atau komunitas masyarakat itu.
Adapun berkaitan dengan frase “Bakal Calon”, dapat ditafsirkan bahwa saat ini seluruh Warga Negara Indonesia (baik ASN maupun Non ASN) yang hendak maju dalam kontestasi Pilkada belum dapat dikatakan sebagai “Bakal Calon”. Karena penyebutan istilah Bakal Calon sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 1 ayat (18) Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota. Di sana disebutkan bahwa Bakal Pasangan Calon Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota yang selanjutnya disebut Bakal Pasangan Calon, adalah warga negara Republik Indonesia yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota untuk mengikuti Pemilihan.
Dengan pengertian di atas jelaslah bahwa sebutan Bakal Calon berlaku apabila seseorang telah memiliki pasangan untuk mendaftarkan atau didaftarkan ke KPU sesuai tingkatannya untuk mengikuti kontestasi Pilkada. Faktanya, sampai saat ini belumlah sampai pada tahapan pendaftaran bakal calon. Sebab menurut ketentuan Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan Dan Jadwal Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota Tahun 2024, pendaftaran pasangan calon baru akan dilaksanakan tanggal 27 s.d 29 Agustus 2024.
Selanjutnya, frase “dengan tidak dalam status Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN)” yang dapat ditafsirkan bahwa kegiatan aktif melakukan pendekatan kepada partai politik sebagai bakal calon dilakukan dalam keadaan tidak dalam status CLTN. Berdasarkan Peraturan BKN Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahwa yang dimaksud dengan cuti adalah keadaan tidak masuk kerja yang diizinkan dalam jangka waktu tertentu. Dari sana dapat difahami bahwa kondisi cuti itu terikat dengan hari kerja dan jam kerja seorang ASN. Artinya, seorang ASN yang mengajukan cuti, apapun jenis cutinya, dilakukan untuk keadaan pada hari kerja dan jam kerja, kecuali pada hari libur yang ditetapkan sebagai cuti bersama oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, seorang ASN dapat diduga melanggar dan dikenai sanksi apabila kegiatan ASN yang melakukan pendekatan kepada Partai Politik sebagai bakal calon (Gubernur/WakiGubernur/Bupati/Wakil Bupati/ Walikota/Wakil Walikota) dilakukan pada hari kerja dan jam kerja yang tidak dalam keadaan Cuti di Luar Tanggungan Negara.
Pertanyaannya, bagaimana dengan ASN yang melakukan pendekatan kepada Partai Politik sebagai bakal calon Gubernur/WakiGubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Walikota), yang dilakukan di luar hari kerja dan di luar jam kerja? Penulis berpandangan, adanya frase “dengan tidak dalam status Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN)” telah menimbulkan problematika hukum, berupa kekosongan hukum. Adanya frase dengan tidak dalam status Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN) telah memberikan batasan sekaligus celah hukum, sehingga ASN tidak dapat disanksi ketika melakukan pendekatan kepada Partai politik sebagai bakal calon (Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Wali Kota), yang dilakukan di luar hari kerja dan di luar jam kerja. Dalam pepatah hukum disebutkan “segala sesuatu yang tidak dilarang, diperbolehkan”. Konsepnya adalah bahwa tindakan apa pun dapat diambil kecuali ada peraturan perundang-undangan yang melarangnya. Bahkan Filsuf hukum Ota Weinberger menyatakan bahwa dalam sistem tertutup di mana semua kewajiban dinyatakan secara eksplisit berlaku aturan kesimpulan berikut segala sesuatu yang tidak dilarang, diperbolehkan. Kemudian, terdapat juga asas legalitas formil atau juga dikenal sebagai asas legalitas prosedural atau asas legalitas formal bahwa prinsip hukum yang menekankan perlunya adanya undang-undang yang jelas dan pasti sebagai dasar bagi tindakan pemerintah dan penegakan hukum.
Kewenangan Bawaslu dalam Menjaga Netralitas ASN
Norma yang menjadi dasar pelaksanaan tugas, kewenangan, dan kewajiban Bawaslu dalam melakukan pengawasan netralitas ASN adalah UU Pilkada Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Pilkada. Selanjutnya, berkaitan dengan netralitas ASN, berdasarkan Pasal 32 huruf g UU Pilkada yang menyebutkan bahwa Bawaslu berwenang memberikan rekomendasi kepada pihak berwenang atas temuan dan laporan mengenai tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilihan. Maka dalam rangka pengawasan, Bawaslu menerbitkan Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pengawasan Netralitas Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri. Kemudian Perbawaslu Nomor 14 tahun 2017 tentang Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota.
Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2018 dalam Pasal 3 menentukan objek pengawasan, bahwa Netralitas Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri dapat menjadi objek pengawasan Bawaslu dalam hal tindakan Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri berpotensi melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan peratuan perundang-undangan mengenai Pemilu dan/atau Pemilihan serta melanggar kode etik dan/atau disiplin masing-masing lembaga/instansi. Dalam ruang lingkup pengawasan dinyatakan bahwa Bawaslu melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu/Pemilihan sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye…”. Nah, yang dimaksud dengan “sebelum, selama dan sesudah masa kampanye” adalah masa setelah penetapan pasangan calon, masa sesudah penetapan pasangan calon (sebelum kampanye) dan pada masa kampanye.
Selanjutnya, yang dimaksud Peserta Pemilihan adalah pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Sedangkan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota adalah Bakal Pasangan Calon yang telah memenuhi syarat dan ditetapkan sebagai peserta Pemilihan oleh KPU sesuai tingkatannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada dapat dikategorikan sesuai jenis pelanggarannya, yaitu pelanggaran kode etik dan pelanggaran disiplin yang tunduk pada UU ASN dan PP Disiplin PNS, dan pelanggaran pidana yang tunduk pada UU Pilkada. Namun demikian, dalam memahami dan menerapkan penegakan hukum netralitas ASN, Bawaslu beserta jajarannya dan pemangku berkepentingan lainnya hendaknya bersikap hati-hati, cermat, teliti serta memahami secara utuh dan komprehensif norma hukum berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur netralitas ASN dalam Pilkada. Hal tersebut menjadi catatan penting agar di kemudian hari tidak menimbulkan problematika dan tidak ada pihak yang merasa diuntungkan maupun dirugikan.*
Penulis: Dr.H.Uu Nurul Huda, S.Ag.,SH.,MH (Ketua Prodi Ilmu Hukum Pascasarjana UIN SGD Bandung)
1 thought on “Netralitas ASN di Pilkada 2024”
вакансии бюро переводов одесса подработка старая сортировка екатеринбург работа в
доме ребенка вакансии самара подработка в сорочинске с
ежедневной оплатой