Rekamjabar.com – Mahkamah Konstitusi tengah bersidang untuk memutuskan permohonan uji materi atau judicial review Pasal 168 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Undang-Undang Pemilu mengatur sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak yang diduga bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945. Untuk Pemilu 2024, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk mengubah sistem pemilu tersebut menjadi sistem pemilu proporsional tertutup dengan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut.
Ujian Konsistensi
Hari-hari ini, hakim MK tengah diuji publik apakah akan konsisten dengan putusan lamanya atau tidak. Putusan lama, yaitu Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008, menyatakan sistem pemilu yang konstitusional adalah sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Jika dicermati secara mendalam dari perspektif konstitusi, sesungguhnya tak ada satu norma pun (pasal, ayat, atau bagian dari ayat) di UUD 1945 yang mengatur mengenai sistem pemilu. Artinya, sistem pemilu bukan merupakan konten yang bersifat konstitusional. Itulah sebabnya, putusan MK nanti akan sangat mungkin beragam bentuknya bergantung pada daya kritis dan kreativitas hakim MK yang dipengaruhi oleh realitas persidangan dan dinamika politik mutakhir.
Menyimak persidangan di MK yang telah menghadirkan para pihak, yaitu pemohon, termohon, dan pihak terkait ditambah dengan kehadiran para ahli hukum tata negara, ahli ilmu politik, dan ahli kepemiluan, baik pihak yang pro maupun yang kontra, mereka menyampaikan argumentasi yang sama-sama kuat dan logis di hadapan hakim MK (Kompas, 8/3/2023). Maka, tampaknya akan menyulitkan bagi hakim MK untuk membuat putusan yang mampu mengakomodasi semua kepentingan dan sesuai kehendak konstitusi.
Dalam hal ini, PDI-P mendukung sistem proporsional tertutup. Adapun delapan partai politik, melalui ketua umum partai politik masing-masing, menolak sistem pemilu tertutup dan tetap mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka seperti pemilu tahun sebelumnya. Sikap delapan parpol ini merupakan bentuk perlawanan terbuka ditujukan kepada lawan politik yang sedang beroperasi mengubah sistem Pemilu 2024 (dilansir dari Kompas, 9/1/2023).
Lebih dari itu, realitas politik menunjukkan bahwa DPR saat ini begitu powerfull dalam mengontrol kinerja hakim-hakim MK. Hakim MK yang membuat putusan tidak sama dengan kehendak partai-partai di DPR dipastikan akan mengalami nasib seperti Hakim MK Aswanto yang dievaluasi dan dicopot dari jabatannya. Realitas ini akan kian menambah beban dan membuat hakim-hakim MK berpikir ulang jika putusannya tidak sepaham dengan kehendak delapan parpol tersebut. Maka, jika tidak hati-hati, putusan MK ini akan berbuah malapetaka bagi hakim MK.
Sementara itu, dari aspek tahapan teknis pemilu, saat ini tengah memasuki tahapan pencalonan anggota DPR dan DPRD di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini akan membuat hakim MK kian berhati-hati membuat putusan terkait perubahan sistem pemilu karena akan dapat berpotensi mengganggu tahapan pencalonan dan penetapan calon oleh KPU. Jika penyelenggaraan tahapan pemilu kacau, bahkan gagal, dipastikan hakim MK akan dituding sebagai biang keroknya.
Sistem Pemilu Hibrida
Itulah sebabnya, besar kemungkinan putusan MK terhadap permohonan uji materi UU Pemilu ini akan membuat happy ending (membahagiakan semua pihak). Maka, bisa jadi kelak putusan MK akan berbentuk kreativitas hakim MK, yaitu penerapan sistem pemilu proporsional hibrida (electoral hybrid system) ala hakim MK untuk Pemilu 2024.
Maka, untuk pemilu anggota DPR, MK bisa saja memutuskan menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup dengan penentuan calon terpilih berdasar nomor urut. Adapun untuk pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, bisa saja MK akan membuat putusan menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Maka, bisa jadi kelak putusan MK akan berbentuk kreativitas hakim MK, yaitu penerapan sistem pemilu proporsional hibrida ( electoral hybrid system) ala hakim MK untuk Pemilu 2024.
Putusan menyelamatkan MK
Jika nanti memang demikian, model putusan MK dengan penerapan sistem pemilu proporsional hibrida itu merupakan putusan yang mampu mengakomodasi banyak kepentingan, antara lain, pertama, putusan MK menggunakan sistem pemilu hibrida akan membuat parpol-parpol di DPR dipastikan senang dan diuntungkan. Alasannya, putusan MK ini akan memberikan kesempatan kepada pengurus pusat parpol tak perlu berkeringat untuk terpilih kembali. Hal ini disebabkan secara otomatis para pengurus pusat parpol akan ditempatkan pada nomor topi (nomor urut angka kecil), tak perlu mengeluarkan biaya kampanye yang mahal.
Sistem tertutup ini tak lagi memerlukan kampanye personal, biaya survei, biaya konsultan politik untuk mem-branding diri. Sistem tertutup ini hanya mengampanyekan gambar parpol karena nama dan foto calon tak lagi tercantum di kertas suara.
Dengan demikian, besar kemungkinan praktik politik uang menurun drastis. Maka, tak ada lagi saling sikut antarcalon dalam satu parpol ataupun antarcalon berbeda parpol.
Kedua, putusan MK menggunakan sistem pemilu hibrida akan membuat pengurus parpol di daerah juga diuntungkan karena masih memberi ruang kompetisi bebas dan liberal untuk memperebutkan kursi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, bahkan tokoh populer, penguasa lokal, dan kerabat elite lokal masih akan bertahan dengan sistem ini.
Ketiga, putusan MK menggunakan sistem pemilu hibrida ini kelak akan menyumbangkan uji coba sistem pemilu hibrida di Indonesia sehingga publik akan dapat mengevaluasi sistem apa yang paling baik diterapkan di Indonesia. Ini karena putusan MK akan menerapkan kedua sistem pemilu ini sekaligus di DPR dan di DPRD sehingga kelak putusan ini akan menjadi laboratorium politik berjalan di Indonesia.
Keempat, putusan MK menggunakan sistem pemilu hibrida kelak akan menyelamatkan hakim-hakim MK dari asumsi, cemooh, dan tudingan banyak pihak bahwa hakim MK penakut dan peragu, bahkan tak independen karena tekanan psikologis. Sebaliknya, putusan MK ini akan menunjukkan bahwa hakim-hakim MK memiliki daya sensitivitas politik-hukum yang tinggi dan reformis karena mampu mengakomodasi kehendak konstitusi, elite politik, pemohon, termohon, dan perbaikan masa depan pemilu yang demokratis di Indonesia.
Mari, kita nanti putusan MK!
Penulis :
Agus Riewanto – Associate Professor Hukum Tata Negara FH Universitas Sebelas Maret dan Ketua Departemen Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar HTN-HAN
sumber : kompas.id