Rekamjabar.com – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI melakukan revisi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang UU Pilkada. Sejatinya putusan itu membuat alam demokrasi lebih terbuka. Putusan MK membuat partai non parlemen dapat mengusung calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur.
Dalam putusan juga diatur terkait ambang batas dukungan sebesar 7,5 persen suara dari total DPT di provinsi. MK juga memutuskan usia calon kepala daerah minimal 30 tahun terhitung saat pendaftaran.
Baca Juga : https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_11003_1724130779.pdf
Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Pilkada Baleg DPR RI menggelar rapat kerja bersama pemerintah dalam hal ini Kemendagri, Kemenkumham, dan Kemenkeu bersama Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD) pada Rabu (21/8/2024).
Rapat kerja ini mengakali putusan MK tentang syarat dukungan calon kepala daerah dan usia calon kepala daerah.
Baleg DPR RI merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) No.23 P/HUM/2024, hasilnya disetujui dalam rapat itu bahwa calon kepala daerah tetap harus didukung 20 persen suara DPRD untuk maju calon Gubernur. Ambang batas dukungan 7,5 persen hanya berlaku untuk partai non parlemen. Kedua, syarat usia minimal 30 tahun bagi calon kepala daerah terhitung saat pelantikan.
Baca Juga : https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaef21887b3c4de28717313630353533.html
Revisi Baleg DPR RI ini kemudian dinilai sebagai akal-akalan untuk menjegal calon tertentu dan membukakan karpet merah untuk calon lainnya.
Bola Panas KPU
Kini, Bola panas pengaturan Pilkada 2024 kini ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai regulator teknis yang akan memproses seluruh pencalonan kepala daerah. Pasalnya, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI telah “menganulir” putusan penting MK terkait UU Pilkada pada hari ini, meskipun secara teori putusan MK bersifat final dan mengikat sejak diucapkan. Kini tinggal KPU memilih, mengikuti putusan MK sebagaimana mereka lakukan saat memproses pendaftaran Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024, atau manut DPR.
“KPU bagaimana? Ikut putusan MK atau revisi undang-undang? Di sini lah letak kita bisa mengukur apakah KPU ikut menjadi pembangkang konstitusi atau penjaga konstitusi,” ujar pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, kepada Kompas.com pada Rabu (21/8/2024).
Pendiri Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu mendesak KPU untuk tetap menjaga konstitusi selaku lembaga independen dengan tidak mengikuti akal-akalan Senayan.
Berfungsi sebagai lembaga pelaksana undang-undang bukan berarti KPU harus membebek pada DPR, terlebih secara hirarkis putusan MK lebih tinggi sifatnya karena menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
“Betul dia harus mengikuti undang-undang dan mengikuti undang-undang juga berarti mengikuti putusan MK,” kata Bivitri.
“Kalau perppu atau undang-undangnya itu melanggar putusan MK yang artinya melanggar konstitusi. Jadi KPU seharusnya tidak melaksanakan perppu itu dan langsung saja bikin peraturan KPU yang secara teknis mengatur (perubahan aturan teknis karena penyesuaian putusan MK),” jelas dia.
Beda Pandangan Lembaga Yudikatif Tahun 2019
Ia memberi contoh lain, pada 2018, KPU sempat diperhadapkan pada “ketidakpastian hukum” terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang melibatkan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta.
Saat itu, muncul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sampai Mahkamah Agung (MA) yang menguntungkan Oesman, sedangkan MK telah lebih dulu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh rangkap jabatan di partai politik sehingga Oesman harus mundur. KPU pada akhirnya bertindak tepat dengan tetap bersikukuh pada putusan MK dan mencoret Oesman dari daftar calon anggota DPD yang akan berlaga di Pileg 2019.
Bivitri mengingkatkan, jika KPU membangkang putusan MK, legitimasi calon yang berlaga di pilkada juga akan rentan digugat sengketa. Pada akhirnya, MK sebagai lembaga yang berwenang mengadili sengketa pilkada, juga dapat membuat calon hasil pembangkangan konstitusi itu tidak sah.
“Konsekuensi politik yang penting, ingat semua sengketa hasil pilkada akan diputus oleh MK dan MK bisa memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) buat pemilu yang melanggar Putusan MK,” tegas Bivitri.
Istilah pembangkangan konstitusi juga keluar dari mulut MK merespons sengkarut hukum pencalonan Oesman Sapta ketika itu. Dalam putusan nomor 98/PUU-XVI/2018, majelis hakim konstitusi ketika itu menegaskan bahwa sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindakan apa pun yang mengabaikan putusan itu bakal bersifat ilegal.
“Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tulis putusan tersebut. (mr)
Sumber : Kompas, Tribun Timur
3 thoughts on “Baleg DPR-RI Dianggap Abaikan Putusan MK, Bola Panas Kini ada di KPU”
скачать Lucky Jet последняя версия https://raketa-igra.fun/
Приложение можно скачать бесплатно с официального сайта 888starz.
+ Испытываете эмоциональное и/или физическое выгорание
+ На грани развода
+ Достигли дна — долги, проблемы в отношениях,
зависимости
+ Не можете построить долгие отношения, проще без них, партнёры всё время не те
+ На грани развода
+ Чувствуете, что страсть и любовь ушли из отношений
+ В конфликте с родителями, общение холодное или
его нет вовсе
+ Чувствуете, что страсть и любовь ушли из отношений
+ Испытываете эмоциональное
и/или физическое выгорание
+ Больше не испытываете эмоций
+ В конфликте с родителями, общение холодное или его нет вовсе
+ Достигли дна — долги, проблемы
в отношениях, зависимости
+ Много делаете и стараетесь, но
результаты уже не приходят
так, как раньше
+ Чувствуете, что страсть и любовь ушли из отношений
+ Больше не испытываете эмоций
https://t.me/s/psyholog_online_just_now